Kebas sudah rasanya hatiku, bertahun-tahun aku berada dalam keadaan ambigu, merasa bahwa diriku selalu salah, orang-orang begitu mudah menyalahkan. Aku juga sepakat bahwa diriku memang biang kerok penyebab masalah dan tak layak untuk bertahan hidup. Aku menyadari bahwa wajahku semakin buruk, aku tak bisa mendapati senyumku di setiap kali aku bercermin. Perjalanan panjang yang mengantarku pada sebentuk
self-love, kesehatan mental itu penting menyumbang peran bagi sebuah senyuman.
Aku hanya merasakan sebal pada wajahku setiap kali berswafoto. Tak satu pun yang bertahan di galeri melebihi batas waktu lima menit. Aku pasti langsung menghapusnya. Rasanya dahulu senyumku manis, dan wajahku menarik. Paling menyebalkan adalah ketika teman-teman mengajakku berfoto, aku merasa bertambah jelek pun tak sanggup menghapus gambarnya. Bagaimana dengan orang-orang di sekelilingku yang melihat tampangku setiap hari?
Tak hanya wajahku yang berubah, aku pun mudah sekali marah pada banyak hal. Merasa mudah tersinggung, sebab aku merasa beberapa upayaku sering menyulut amarahnya. Padahal menurutku aku tengah berupaya melakukan yang terbaik. Pada saat seperti itu aku kembali terhempas. Memang tak ada yang benar pekerjaanku, meski niatku terus berusaha memperbaiki segalanya.
Alhamdulillah, sekarang ada platform digital yang mengedukasi pembacanya mengenai mental health, namanya Dear Senja ~ Kesehatan Mental. Ada banyak info penting perihal kesehatan mental di Blog Dear Senja, seperti kesehatan mental, gangguan kesehatan mental, kesehatan mental pada anak. Ada penjelasan, dan cara mengatasinya.
Sebagai emak-emak tentu memiliki masalah pelik, dengan adanya platform yang peduli akan kesehatan mental menjadi angin segar. Kasus viral ibu yang menghilangkan nyawa anaknya hingga yang membuang bayinya sendiri, menjadi cerminan bahwa negeri ini masih butuh banyak edukasi terkait kesehatan mental.
Pengembaraan Self-Love, Kesehatan Mental itu Penting!
Ada jalur panjang yang berliku yang harus kulalui, hingga aku bisa kembali tersenyum. Bukan hanya bibirku saja, mataku juga memancarkan senyuman yang kurindukan. Senyuman yang dahulu menghiasi, kini kembali kumiliki.
Aku menyusuri masa-masa yang telah berlalu, mencoba menemukan hikmah atau sekadar menambal luka masa lalu yang kubiarkan menganga tanpa pengobatan. Dibuang begitu saja dari alam sadar, tetapi nyatanya menggerogotiku dari alam bawah sadarku.
1. Bertemu Inner-Child Negatif
Sebagai seseorang yang suka membaca dan memiliki ketertarikan untuk terus belajar, maka aku mengikuti kajian parenting yang bisa kupelajari dari ponsel. Saat itu aku berkenalan dengan pembahasan mengenai inner-child negatif bersama Mbak Innu Virgiani M.Psi, Psi—psikolog, terapis & penulis buku—pada 18 Januari, 2019
Inner-child adalah konsep yang menggambarkan sikap dan sifat kekanakkan yang mungkin dimiliki setiap orang. Inner-child bisa digambarkan sebagai bagian dari tubuhku yang tak ikut tumbuh, tetap menjadi anak-anak. Bagian ini tetap bersembunyi, menggenggam ingatan dan emosi yang dialami saat masih kecil.
Ada bagian yang tak ingin tumbuh, tetap menggenggam emosi dan ingatan dengan kuat. Begitu yang kutangkap dari kajian itu. Bahwa tingkahku yang auto pilot itu merupakan buah yang dihasilkan si makhluk kecil yang ada dalam diriku. Ingin cepat bertumbuh mendewasa, tak ingin keadaan ini menghancurkan masa depan.
Aku membubuhkan cek lis pada tanda-tanda inner-child yang penting untuk diperhatikan bagi kesehatan mental. Ada beberapa yang kutandai dari informasi di bawah ini , kalian juga bisa periksa ya:
- Merasa ada yang salah dengan dirimu
- Selalu berusaha menyenangkan semua orang
- Terkadang merasa senang jika bermasalah dengan orang lain
- Susah move on dari orang lain
- Sering kali merasa cemas bila dihadapkan dengan sesuatu yang baru
- Merasa bersalah jika memberikan batasan diri Anda kepada orang lain
- Selalu berusaha menjadi yang terdepan
- Perfeksionis
- Sering susah dalam memulai dan menyelesaikan tugas
- Selalu mengritik diri sendiri
- Sering merasa malu untuk menunjukkan perasaan
- Malu dengan bentuk tubuh sendiri
- Selalu menaruh curiga terhadap orang lain'
- Berusaha menghindari konflik bagaimanapun caranya
- Takut ditinggalkan
Aku baru menyadari bahwa seseorang membutuhkan ilmu dalam menyelesaikan permasalahannya. Beruntung setidaknya aku memiliki jembatan ilmu. Meski ketika menyadari ada yang salah pada diriku, bukan serta merta menemukan solusi. Malahan keadaan semakin menggila. Harus menelusuri kembali masa gelap yang pernah terabaikan.
Inner-child negatif memang seharusnya tak ada, dengan pandanganku sebagai muslim. Sebab, mengimani adanya takdir baik dan buruk, seharusnya melapangkan jalan terjal. Bahwa apa yang terjadi pada diri kita, ada pahala yang mengalir untuk setiap lillah dan keikhlasan. Namun untuk bertemu dengan hal-hal semacam ini, seseorang bisa saja membutuhkan puluhan kali kajian dan bergonta-ganti penceramah, bukan?
Secara ilmu, inner-child bisa terjadi apabila seseorang di masa kecilnya mengalami: kehilangan orang tua atau wali terdekat, kekerasan (fisik, emosional &seksual), pengabaian, penyakit serius, perudungan (bully), gempa bumi, perpecahan dalam keluarga, anggota keluarga mabuk-mabukan, kekerasan dalam rumah tangga, anggota keluarga mengalami gangguan mental, hidup di pengungsian, terpisah dari keluarga.
Jika menilik ke belakang banyak hal yang memang telah kulalui, seperti pengabaian, penyakit serius, perudungan, perpecahan dalam keluarga, sempat terpisah dari keluarga inti. Kurasa jika kubeberkan apa-apa saja luka yang harus kusembuhkan, bukan sekadar artikel tetapi naskah novel untuk dibukukan.
Pada blog Dear Senja juga terdapat pembahasan secara rinci mengenai inner-child, ini membuat pemahamanku mengenai inner-child bertambah. Aku menyukai bagian langkah-langkah untuk mengatasinya, seperti mengekspresikan inner-child dan kembali menjadi anak-anak. Sepertinya aku benar-benar harus mencobanya. Jika selama ini aku melakukan untuk membersamai anak saja, maka kali ini akan kuselipkan niat untuk mengatasinya.
Sampai di sini aku seolah menemukan secercah harapan, untuk kembali bangkit. Aku mengakui diriku sebagai seseorang dengan kesehatan mental yang buruk. Namun, diriku harus bangkit setelah merasakan hati kebas hingga benar-benar bisa tersenyum.
2. Sibuk Memantaskan Diri dengan Menyembuhkan Diri Sendiri
Menurut Wikipedia penyembuhan diri adalah proses menyembuhkan diri sendiri dari gangguan psikologis seperti trauma, patah hati dan sebagainya. Manusia hidup berdampingan dengan alam semesta, tak terlepas dari adanya konflik. Konflik yang ditimbulkan memiliki dampak yang berbeda pada setiap individu. Pada umumnya dampak yang timbul pada diri sendiri adalah: menyalahkan diri sendiri, menyakiti diri sendiri, merasakan kehampaan hati, stres, depresi, sampai mengarah ke gangguan mental psikosomatik.
Aku mengumpulkan beberapa kajian ilmu tentang self healing semenjak pertama kali mendengar istilah ini di tahun 2018 hingga kini, aku ingin memiliki kehidupan yang damai. Menyembuhkan semua luka, kemudian membebaskan diri dari rasa kesal dan kecewa yang kusimpan bertahun-tahun lamanya. Kenapa setelah bertahun-tahun aku baru tahu kalau aku ternyata sangat terluka. Dahulu, semua peristiwa yang terjadi kuabaikan seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Aku merasa bahwa diriku survivor tangguh, tak patah meski bagaimana orang memperlakukanku. Masih tetap tertawa riang, mengejar beraneka mimpi. Alih-alih menyadari ada luka yang menganga, aku merasa diri baik-baik saja.
Self healing bertujuan untuk membuat kesehatan mental tetap terjaga. Ketika sadar bahwa hal yang dahulu kulakukan bukanlah ketangguhan melainkan bentuk melarikan diri dari perasaan putus asa dan hampa dengan menganggap tidak pernah terjadi sesuatu. Maka kali ini aku harus melakukan sesuatu yang berani bertujuan untuk:
- Memperbaiki mood
- Membantu mengurangi kecemasan
- Membantu mengatasi depresi
- Dapat meningkatkan kondisi fisik individu seperti meningkatkan kualitas tidur dan menguatkan sistem imun
- Meningkatkan well being
Writing for healing, menjadi ajang menyehatkan mentalku. Hobi menulisku menelurkan beberapa buku antologi yang kutulis bersama teman-teman dengan mengisahkan luka dan mengorek hikmah. Aku menulis dengan judul Pedar Palung Hati tentang perpisahan orang tua pada buku Luminesensi (Analekta Wanita Tangguh). Lalu Helaian Kertas Putih pada buku antologi berjudul Antologi Sahabat Bunda. Selanjutnya kisah tentang perudungan oleh masyarakat terhadap keluargaku, kutulis dengan judul The Big Family of 658 pada antologi berjudul Luruh untuk Tangguh.
Buku-buku antologi lainnya bersusulan dengan berbagai tema seperti parenting dan juga puisi dan quote, aku benar-benar mengisi tahun-tahun itu dengan aktivitas menulis, membuat blog ini juga upaya menjadi diri yang bahagia. Perjalananku dalam memahami
peran pengasuhan ayah dan ibu pun kutuliskan di sini, sebagai referensi buatku dalam menyembuhkan setiap luka.
Ada banyak jalan yang harus aku lalui untuk masing-masing luka. Menulis memang efektif untuk membuatku lebih rasional dalam berpikir, tidak melulu soal rasa. Perlu kalian tahu maraknya
healing yang diartikan sebagai jalan-jalan mewah ke luar negeri, menghabiskan uang bukanlah satu-satunya cara untuk
self healing. Bisa dilakukan di rumah dengan menonton film, membaca buku, olah raga, mendengarkan musik dan lain-lain.
3. Semua Orang Menyalahkan, Tak Ada yang Menilik Kesehatan Mentalku
Sulit memang menyadari bahwa diri sendiri sedang oleng, tetapi tidak adanya support system yang bisa diandalkan jauh lebih sulit. Seperti balita yang sedang mengeja kata luka masa kecil, tubuh dewasaku dipaksa menyelesaikan secara instan. Banyak sikapku yang memang menyusahkan. Aku hanya tak ingin bertemu dengan pemicu selama aku dalam upaya mengenali luka-lukaku.
"Kamu tuh sangat menakutkan kalau marah."
"Apa nggak kasihan sama, mereka?"
Ada banyak komentar yang membuatku beringsut, lain kali aku akan meledak jika masih saja itu yang kudengar. Kenapa tak ada seorang pun yang merasa kasihan padaku! Hidup ini memang kejam. Rekaman masa lalu itu kini hilir mudik berputar dalam kehidupan dewasaku menjadi tontonan yang sama dengan masa laluku. Bedanya saat ini akulah yang menjadi tokoh antagonis, lalu beberapa orang dipaksa olehku memerankan diriku di masa lalu. Bagaimana jika itu adalah anak yang kulahirkan?
Ini bukan sesuatu yang kuinginkan, sungguh menjadi bengis seperti mereka bukan impianku. Aku tersiksa memiliki sikap yang paling kubenci dari masa lalu. Genggaman masa kecil itu ternyata benar-benar menerkamku hingga aku sama sampahnya sikap mereka. Seseorang tolong aku, bantu aku mengusir pemicu lalu ajari aku tumbuh menjadi dewasa seutuhnya.
4. Mengenali Diri Agar Bahagia
Menurut Chaplin, marah adalah reaksi emosional akut yang timbul karena sejumlah situasi yang merangsang, seperti ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan dan frustasi. Reaksi ini ditandai oleh reaksi kuat pada sistem otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik dan secara implisit disebabkan oleh reaksi seragam, baik yang bersifat somatis (jasmaniah) maupun verbal (lisan).
Rasulullah berkata, " Ketahuilah! Sesungguhnya amarah itu bara api di hati anak cucu Adam, bukankah kalian melihat dua mata (orang marah) memerah dan urat lehernya membesar." (HR. Tirmidzi)
Menurut Paul Ekman, manusia memiliki enam emosi dasar yaitu fear (takut), anger (marah), sadness (sedih), happiness (bahagia), disgust (jijik), dan surprise (terkejut). Emosi dasar ini yang membawa pada bahasan kematangan emosional orang tua. Bentuk emosi marah yang kutunjukkan termasuk berlebihan. Seperti ekspresi melotot, menyeringai, mimik muka galak, atau berkacak pinggang. Jika itu tidak efektif maka bunyi akan lebih nyaring, membentak, menghardik, sampai pada tindakan fisik.
Anak yang memiliki orang tua pemarah, sepertiku. Melihat kemarahan adalah sesuatu hal yang lumrah. Anak belajar dari apa yang dilihatnya. Tidak hanya itu, anak yang dibesarkan dengan bentakan memiliki dampak fisik berupa kerusakan/kematian sel-sel otak, suara yang keras dan bentakan dari orang tua dapat menggugurkan atau merusak sel otak anak yang sedang tumbuh. Aku harus bahagia, memiliki kesehatan mental yang bagus supaya tidak mudah marah lagi.
Perjalanan kali ini mengharuskan aku untuk mau berjuang mengenali diriku sendiri. Menulis pada selembar kertas terkait info berikut ini:
Who I'am? Bagaimana aku diciptakan? Bagaimana aku sebagai anak? Bagaimana aku sebagai istri? Bagaimana aku sebagai ibu? Apa yang membuatku bahagia? Apa yang membuatku marah? Apa yang paling kuharapkan? Bagaimana aku saat kecewa? Kapan aku berbinar?
Tak cukup sampai di situ, aku juga diajak Umma Sinka Mutasia M.Psi.,—psikolog—mengenali pemicu emosi enam dasar dengan emosions chart. Aku merasa sedih, bahagia, takut, jijik, marah dan terkejut pada situasi bagaimana?
Mengenali emosi bisa memudahkan diri dalam mengelola emosi. Meski demikian dukungan dari orang terdekat menjadi hal yang penting. Kita harus bisa terbuka dengan pasangan atau anggota keluarga lain yang dirasa tepat untuk dijadikan support system pengendalian emosi.
Mengenali diri dari sisi bakat dan minat juga baik untuk membuat kita bahagia. Melakukan hal-hal yang tidak bertentangan dengan minat dan bakat membuat perjalanan hidup menjadi lebih berarti. Aku membuat kuadran aktifitas dengan memilah kegiatan mana yang merupakan potensi kekuatan dan kusukai.
5. Terapi Afirmasi Positif dan Butterfly Hug
Alhamdulillah, perjalanan memahami kesehatan mental menemui babak selanjutnya. Pada bab kali ini, hal yang harus kupastikan adalah melakukan penerimaan diri. Kalimat-kalimat di awal paragraf artikel ini harus bisa kuubah sendiri menjadi sesuatu yang jauh berbeda.
Seolah lirik lagu penghapus nestapa, diriku kembali bergulat dengan keadaan. Aku masih belum benar-benar bisa memutus mata rantai itu.
Hal yang paling terasa adalah sakit pada punggung ketimbang sakit lambung. Menurut Mbak Innu Virgiani M.Psi, Psi bahwa seseorang yang memiliki gangguan kesehatan mental sepertiku bisa saja merasakan hal itu.
Seingatku tidak hanya aku yang memiliki keluhan pada punggung, adikku juga sama. Bahkan sakit punggungnya pernah membuatnya tak kuat melakukan aktivitas berat. Tidak semua sakit punggung berasal dari gangguan mental. Melainkan riwayat kehidupan kami yang carut marut membuatku menarik kesimpulan itu.
Penerimaan pada diri biasanya disebut dengan self-love, Mbak Innu membuat apa yang selama ini sulit kuterjemahkan menjadi lebih mudah untuk direalisasikan. Aku yang kerontang tangki cintaku, kini bisa memenuhinya dengan cara mencintai diri sendiri. Memang berharap pada makhluk itu sesuatu yang aniaya.
Bersyukur ternyata masih ada harapan bagiku. Saat bangun pagi sembari melemaskan otot sebelum beraktivitas, kini bisa kuisi dengan melakukan butterfly hug, pelukan kupu-kupu ini memberi efek menenangkan. di tambah dengan afirmasi positif mengenai diri sendiri.
Cara melakukan butterfly hug ini dengan melakukan pernapasan perut. Saat mengambil napas dengan hidung hitung 6-8 hitungan. Keluarkan dari mulut dalam hitungan 6-8. Sambil melakukan gerakan memeluk diri sendiri, ditepuk-tepuk seperti tepukan sayap kupu-kupu.
Biasanya kulakukan sambil bergumam, memberi afirmasi positif pada tubuh yang akan berjuang seharian.
Terima kasih diriku ...
Aku memaafkan kesalahanmu ...
Terima kasih menjadi kuat
Kamu itu pribadi yang ...
Seorang anak yang ...
Seorang Kakak yang ...
Istri yang ...
Ibu yang ...
Terima kasih untuk tetap bertahan
Sambil sesekali mengelus bagian punggung yang sakit. Sakit punggung ternyata tidak melulu akibat saraf/otot, bisa jadi indikasi trauma masa lalu. Selain itu
self-love dengan merawat diri bisa menjadi pilihan.
6. Memberi Maaf Meski Tak Diminta
Pada saat ini
terapi memaafkan demi kesehatan mental sangat diperlukan, jika persepsi awal kita memaafkan adalah kebutuhan si pembuat ulah. Maka kali ini harus mengubah cara pandang, agar memaafkan menjadi cara ampuh untuk menyembuhkan diri.
It's not about them!
Menurut Karel Mark memaafkan adalah suatu tindakan melepaskan emosi negatif ke positif. Indikasi kita sudah memaafkan seseorang adalah sudah tidak ada keinginan balas dendam, tidak ada lagi menjaga jarak, dan keinginan untuk berdamai dengan orang/peristiwa tersebut.
Jika lisan berkata sudah memaafkan, tetapi hati masih merasa dendam, sakit hati, ingin menjaga jarak, tidak mau bertemu, dan masih tak ingin berurusan dengan perihal atau orang tersebut, itu artinya OMDO.
Memaafkan itu melepas emosi negatif, agar tidak terjadi timbunan somatic mind, melepaskan bara api. Timbunan somatic mind bisa menimbulkan banyak penyakit seperti gangguan lambung, gangguan kecemasan, sakit kepala, bisa juga menyebabkan kanker.
Refleksi Pengembaraan Memahami Kesehatan Mental
Tuhan mencipta manusia tak hanya dengan hawa napsu dan naluri saja. Tuhan telah melengkapi kita dengan akal pikiran. Tuhan telah menginjeksi kita dengan benih memaafkan. Namun, pikiran kita terkadang membuat sekat-sekat penghalang. Memaafkan jadi membutuhkan banyak alasan. Memaafkan adalah relasi dari kita dengan pikiran kita. Bagaimana bisa mudah memaafkan jika pikiran kita mengambil kendali.
Self-love memiliki peranan yang penting bagiku dalam proses menyembuhkan luka. Orang terdekatku memang tak mengenalku dengan baik. Ia tak tahu apa saja yang pernah terjadi di masa laluku. Tak mudah membuatnya yakin untuk turut serta membantuku. Maka mengandalkan diri sendiri menjadi cara yang tepat untuk dipilih.
Berbeda latar belakang pengasuhan, berbeda pula isi tangki cintanya antara terpenuhi kasih sayang dan terabaikan. Tidak semua orang dewasa di sekitarku melakukan pengabaian. Namun, aku tak menyangka jika ingatan dan emosi itu bertahan dalam diriku.
1. Muhasabah agar Lebih Mengenal Diri
Tindakanku yang auto pilot memang membuat diriku tak bisa mendapat label ibu bijaksana. Saat ini aku berusaha menjelaskan keadaanku, dan meminta maaf kepada anak-anak dan suami.
Bukankah dalam perubahan butuh perjuangan? Meski kadang tak didengar, tak ada salahnya kukomunikasikan. Terkadang masih terbesit, mereka bisa bersama dengan orang yang lebih baik, aku tak pantas!
"Kamu sudah tak mau berjuang untuk mereka?" Beruntungnya aku selalu diberi kesempatan.
2. Bersyukur Tanpa Syarat
Mulai memperhatikan nikmat-Nya, mulai dari hal-hal kecil. Seperti kesehatan jasmani, rezeki, nikmat memiliki sahabat, menemukan tempat yang nyaman, bertemu tetangga yang baik dan lain sebagainya.
Tak lagi memberi syarat untuk kebahagiaan. Aku hanya akan bahagia bila ..., berganti dengan hari ini terasa istimewa sebab hari kemarin aku nggak marah. Hehe ....
Mengalihkan fokus pada anugerah yang telah diberi. Ketimbang mengeluh dengan masalah-masalah yang memang belum saatnya terpecahkan.
3. Bersabar dalam Ujian
Setiap hamba diuji baik dengan nikmat, dan susah. Sabar seharusnya tanpa batas, sabar tidak ada batasnya, sabar ada tempatnya. Kesabaran membuat marah tak lantas meledak. Kesabaran juga membuat kita mudah melahirkan kata maaf.
4. Berserah Diri
Pada akhirnya aku ingin merangkum perjalanan ini, bahwa berserah pada kehendak Tuhan merupakan hal yang mampu melengkapi upayaku untuk berdamai dengan masa lalu.
Tak perlu ada lagi depresi, inner-child negatif dan timbunan somatic mind lainnya. Allah mengirimkan setiap luka pada diriku, Allah berkehendak mengirim orang tersebut dalam kehidupanku, Allah berkehendak dengan masalah yang timbul. Hingga membuatku lebih melapangkan dada, bahwa Allah yang berkehendak bukan lagi perkara ia yang bersalah padaku.
It's okay to be not okay. Ada masanya kita belajar, lalu kini saatnya kita mengamalkan. Memang segala yang di dunia ini serba berpasangan. Seperti aku dengan dirinya, latar belakang yang kontras membuat kami saling melengkapi.
Ia memang tak mengalami apa yang kualami, tetapi ia mengerti sudut pandang yang tak terpikir olehku. Meski banyak beradu gagasan, berusaha menyadari bahwa mungkin akan ada sudut pandang yang lebih menentramkan.
“Jangan sekalipun engkau meremehkan sebuah kebaikan yang hanya sedikit meskipun itu hanya ketemu saudaramu lalu dengan wajah yang tersenyum atau berseri-seri.” (HR. Muslim)
Sebab senyumku itu sudah melalui fermentasi yang panjang, makanya jika masih terasa kecut. Maklumi saja!
Tentang Dear Senja
Tidak semua orang mengerti akan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Beberapa oknum tanpa penanganan bisa membahayakan nyawa, baik dirinya maupun orang-orang di sekitar.
Kasus ibu yang tega membunuh darah dagingnya, beberapa pembunuhan terjadi tersebab tak mampu mengolah emosi, hingga membunuh lantaran dendam. Kasus bunuh diri, sebab kondisi mental yang tertekan, depresi dan tak ada penanganan yang benar, menjadi bayang-bayang kelam.
Dear Senja menggaungkan informasi mengenai kesehatan mental ini, seperti istilah gangguan disosiatif. Depersonalization-derelization Disolder, gangguan ini membuat penderita seolah-olah lepas dari tubuhnya dan dapat mengobservasi dirinya sebagai orang ketiga (depersonalisasi). Aku merasa pernah mengalaminya sekali sewaktu mengalami kecelakaan.
Aku merasa berada di suatu tempat, hal yang aku lihat semacam potongan kejadian dalam film seolah tidak nyata. Aku melihat seorang gadis berseragam SMA digotong tiga orang. Tiga orang lainnya duduk di dalam angkutan umum, menerima tubuh itu untuk dipangku.
Setelah beberapa hari dirawat, aku bercerita tentang potongan kejadian yang kuingat, mereka bilang bahwa apa yang kulihat adalah hal yang terjadi padaku. Saat itu aku dalam keadaan tak sadarkan diri, proses yang kulihat sama persis dengan kejadian nyata. Aku bertanya-tanya apakah mungkin gangguan disosiatif itu yang kurasakan waktu itu?
Selain aktif dalam membagi informasi di blog, Dear Senja juga aktif dalam sosal medianya. Selain itu, ternyata ada komunitasnya. Komunitas ini dikelola dalam wadah yang dibuat di platform Telegram. Aku baru join beberapa hari, di sana ada sharing tentang kesehatan mental.
Ada pula sharing dari teman-teman yang sudah berpengalaman, mengenai cara menggunakan BPJS untuk pengobatan gangguan mental ini. Wah seru sekali ya, beberapa pertanyaan terkait kesehatan mental ini bisa membantu teman-teman yang memang sedang membutuhkan pengobatan.
Jangan asal curhat ya, sebaiknya memilih orang yang berkompeten mendengarkanmu. Supaya mendapatkan solusi, bukan sekadar memberi bahan ghibah-an baru untuk mereka.
Referensi
dr. Kevin Andrian, 2022. Pentingnya Self Love dan Cara Menerapkannya. Diunduh dari https://www.alodokter.com/pentingnya-self-love-dan-cara-menerapkannya diakses pada 23 Januari 2023
Annisa Hapsari, 2022. Memahami Inner-Child yang Kerap Menetap Hingga Dewasa. Diunduh dari https://hellosehat.com/mental/inner-child/ diakses pada 23 Januari 2023
Dear Senja, 2022. Apa Itu Inner-child dalam Psikologi Ini Definisi dan Cara Menyembuhkannya. Diunduh dari https://www.blog.dearsenja.com/mental-health/apa-itu-inner-child-dalam-psikologi-ini-definisi-dan-cara-menyembuhkannya/ diakses pada 24 Januari 2023
Christianne Iola, 2022. Self Healing: Pengertian, Tujuan dan Manfaat. Diunduh dari https://psychology.binus.ac.id/2022/06/30/self-healing-pengertian-tujuan-dan-manfaat/ diakses pada 23 Januari 2023
dr. Nurul Afifah, 2019. Don't Be Angry, Mom (Mendidik Anak Tapa Marah). Jakarta Selatan: Penerbit Ikon
Dear Senja, 2023. Gangguan Disosiatif: Definisi, Jenis, Penyebab, dan Cara Mengatasinya. Diunduh dari https://www.blog.dearsenja.com/mental-health/gangguan-disosiatif-defenisi-jenis-penyebab-dan-cara-mengatasinya/ diakses pada 24 Januari 2023
Artikel ini kutulis dalam rangka mengikuti lomba #DearSenjaBlogCompetition dari Dear Senja. Bukan sekadar mengikuti lomba, semoga artikel ini bertemu dengan pembacanya. Sesama pejuang mental health. Berbagi pengalaman tentang bagaimana aku melakukan pengembaraan self-love, kesehatan mental itu penting. Penting sekali!
MasyaAllah, terharu bacanya Mbak, sekaligus juga saya dapat insight baru tentang kesehatan mental, terima kasih ya Mbak, Barakallah ♥️♥️♥️
BalasHapusTerima kasih Mbak Zoe, sehat mental selalu ya. ❤️❤️❤️
HapusSama-sama Mbak, Amiiin Allahuma Amiiin 🤲♥️
HapusYang saya garis bawahi kak, SYUKUR, SABAR dan BERSERAH ( Ridho dengan takdir Allah).
BalasHapusMemang inilah kunci hidup lebih sehat mental.
Kalo afirmasi positif biasanya kata2nya saya ubah. Bukan terimakasih diri. Tapi selalu ucapkan 'terimakasih ya Allah Engkau telah menguatkan diri ini". Atau "" Terimakasih Ya Allah karena Engkaulah aku kuat berdiri hingga saat ini"
Seperti kalau sedang berdoa ya, berterimakasih kepada Allah. Memang betul Mbak, tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah. Terima kasih untuk tambahannya. Nanti saya praktekan dan diperbaiki lagi info di atas.
Hapusartikelnya kerenn ka. Jadi semangat nih bikin konten kayak gini....hehehe...Semangat terus ka...
BalasHapusSemangat ya, boar banyak yang teredikasi. Biar banyak juga yang terbantu.
HapusDulu aku juga sering merasa minder dan menyalahkan diri sendiri ketika banyak orang menyalahkan diriku. Tapi kemudian aku banyak membaca buku tentang parenting dan bagaimana membentuk mindset yang baik pada diri kita hingga akhirnya aku tidak
BalasHapusItu bagus, jadi bisa mencintai diri sendiri ya Kak. MasyaAllah, kereen!
HapusMasyaa Allah ... Saya juga takut banget mbak dengar berita ibu yang depresi yang akhirnya membunuh anaknya, ngeri mbak. Biasanya kalau dengar berita begitu saya pasti berkaca ke dalam diri saya. Are you oke mom? Bahagia yah ibu, sebab sedihmu bisa berakibat fatal
BalasHapusBaik-baik selalu Mbak. Kalau ada yang berat, curhatnya jangan sembarangan. Nanti bukannya selesai maoah makin menumpuk emosi negatifnya bikin kita cepat capek meski nggak ngapa-ngapain. Mudah uring2 an jadinya.
HapusInner chil negatif itu berbahaya banget buat diri sendiri ya, Mba. Karena menimbulkan kesehatan mental bertahun-tahun lamanya. Kita jadi tidak bisa mencintai diri sendiri, ditambah tidak adanya suport system. Wah, sudah deh makin menjadi. Semoga kesehatan mental kita tetap terjaga dengan baik dan bisa berdami dengan masa lalu.
BalasHapusAku aja nggak ngerasa menyimpan dendam, pokoknya merasa baik-baik saja awalnya. Baru pas ada pemicu, bahkan setelah punya anak baru memunculkan gejala. Perjalanan memang tidak bisa selalu mulus.
HapusPerjalanan panjang ya Kak. Namun semoga terus mengajak Kakak bertumbuh menjadi sosok yang lebih baik setiap harinya. Ternyata banyak sekali yang memicu inner child negatif, tapi aku mendadak bingung di bagian "gempa bumi" yang menjadi salah satu penyebabnya. Apakah maksudnya, ketika menjadi korban dari suatu bencana alam juga bisa memicu masalah pada kemunculan inner child negatif juga ya, Kak? Soalnya kalau gempa bumi namun nggak sampai jadi bencana, cukup sering terjadi sih yang skala getarannya kecil.
BalasHapusIya, misalkan waktu kecil mengalami gempa bumi yang membuatnya trauma.Emosi dan ingatan itu bisa mengendap kan? Sisi iu tidak mau tumbuh.
HapusOh gitu ya mba sukma.
HapusJadi ingat pas saya kerja di suatu NGO di Banda Aceh pasca tsunami.
NGO kami juga menangani trauma anak anak dan guru katena tsunami. Dan trauma tersebut pun berkembang, karena anak anak banyak yang kehilangan orang tua atau salah satu dari orang tua, yang mengakibatkan mereka harus diasuh oleh orangtua pengganti atau salah satu dari orang tua anak menikah lagi. Nah ini juga menyebbabkan trauma
Iya Mbak, auto merinding ya. Bencana memang sesuatu yang tak terduga dan bisa membuat kehilangan banyak hal secara cepat. Harta, keluarga. Traumanya bisa berkepanjangan kalau nggak ada yang bantuin buat bangkit ya Mbak.
HapusOtw buka blog Dear Senja .. saya masih terjebak dengan inner child, Mbak ... ada hal2 yang masih berusaha saya atasi hingga saat ini padahal usia saya tak muda lagi.
BalasHapusTerima kasih telah menuliskan ini.
Menuliskan kisah ini sebenarnya tidak mudah. Semoga bisa menjadi bentuk dukungan bagi Teman-Teman yang memiliki permasalah yang sama. Kita tidak sendirian. Mari berpelukan dan bangkit
HapusKesehatan mental bukan hanya orang tua tapi anak sekarangpun banyak yg mengalami kesehatan mental
BalasHapusSebagai orang tua harus waspada baik diri sendiri maupun anak2 karena pengaruh sosmed youtube luar biasa ke anak
Setelah saya membaca cerita mba, saya juga merasa punya inner child yg belum tuntas masalahnya sampai sekarang. Blog dear senja ternyata memberikan banyak wawasan bagi saya mengenai kesehatan mental yang kerap dialami oleh perempuan. Makasi sharingnya ya mba.
BalasHapusSama-sama Mbak, alhamdulillah sekarang jauh lebih mudah untuk nggak marah dan merasa bahagia. Semangat untuk self love yuuk.
HapusTetap semangat ya, Kak. Senang membaca sharing-nya. Noted untuk info-info baik terkait kesehatan mental yang memang tak bisa diabaikan. Mau kepoin Dear Senja saya...ada orang terdekat yang butuh bantuan.
BalasHapusBtw, setuju untuk memilih orang yang berkompeten mendengarkan agar mendapatkan solusi, bukan sekadar memberi mereka bahan ghibah-an
Semangat terus yuk, semoga banyak orang bisa terbantu dan teredukasi ya dengan adanya Dear Senja.
Hapus