"Seharusnya jangan mudik dulu, ini kan sedang ada Corona, mana dari Bekasi lagi." Begitu yang kutangkap dari cara mereka memandangku. Bepergian sewaktu pandemi corona merupakan tantangan yang menguras mental.
Bepergian Sewaktu Pandemi Corona
Saya pun inginnya demikian, tetapi apa boleh buat, ketika abinya anak-anak berkehendak. Kita harus mudik di waktu yang telah ditentukannya. Seperti yang sudah-sudah, saya selalu kalah jika memaksakan berdebat dengannya.
"Halah, kebanyakan orang pinter sekarang ini, masjid pada di tutup tapi pabrik-pabrik masih tetap beroperasi." Begitu tudingnya sebelum aku melontarkan alasan.
"Lihat tuh, pasien 01, 02, & 03 sudah sehat dan berkeliaran, kaya gitu kok terlalu takut, asalkan kita imunnya kuat nggak jauh beda dengan flu biasa." Terangnya, membuatku malas mendebat.
"Apa sih yang ditakutkan? Kalau waktunya mati ya mati. Setiap hari juga ada kok orang mati."
Memang betul apa yang dikatakan suamiku. Mati, sakit, rezeki itu Allah yang sudah mengaturnya. Dan sekali-kali tidak bisa mendustakan jika virus corona ini berhadir di muka bumi atas kehendak Allah. Sudah salah kaprah jika selama ini menyematkan rasa takut terhadap virus. Seharusnya ketakutan kita hanyalah pada Allah semata.
Pagi itu aku merasa tak enak makan, hingga membuat maag-ku kambuh. Sungguh, berandai-andai atas segala kengerian itu membuatku merasa tak berdaya.
Aku ngeri untuk melakukan perjalanan terlebih dengan angkutan umum. Aku menyampaikan informasi perihal kedatangan kami kepada keluarga di kampung, dan menyiapkan diri untuk menjadi ODP (orang dalam pantauan) saat kelak sampai di kampung halaman.
Tidak di sarankan untuk bepergian di saat pandemi gaes, lebih seram ketimbang nonton film horor.
Malamnya aku tak bisa tidur hingga akhirnya aku mengadukan segalanya pada Sang Pencipta Virus Corona. "Ya Allah, andai mudik baik bagiku dan keluargaku di kampung maka lancarkanlah, jika kami berpotensi membahayakan orang tua maka cegahlah kami, sungguh hanya kepada-Mu aku berlindung."
Meleleh air mataku, membayangkan jika diriku menjadi penyebab virus ini menyambangi kampung halaman. Terlebih jika sampai menginfeksi orang tuaku. Berat sekali apa yang kubayangkan. Ini tidak berlebihan bagiku yang sebenarnya visioner. Tidak hanya berpikir untuk saat ini, tetapi mempertimbangkan bagaimana efek bagi kehidupan mendatang.
Beberapa bulan lalu, aku merindukan kampung halaman. Sungguh dua tahun tak pulang itu sangat berat rindu pada orang tua. Meski setiap hari berkabar melalui gawai. Namun saat pandemi ini aku benar-benar sudah mengubur keinginan itu.
Mungkin Allah telah mengabulkan sebagian do'aku yang dulu, hingga benar-benar akan tiba ke kampung halaman.
Hari menuju keberangkatan kami sudah di depan mata. Aku masih belum berkemas, baju anak-anak dimasukkan oleh suamiku, dan akhirnya aku membantunya. Dia bertanya apa aku tidak menyiapkan bajuku? Aku memang hanya mengenakan baju yang menempel di badan.
Biarlah cuci kering pakai saja, toh di tempat Ibu masih ada baju untuk #DiRumahAja. Beberapa hari semenjak Abi mengabarkan bahwa kami harus pulang kampung, anak-anakku sangat girang.
Namun aku memberitahukan bahwa dalam perjalanan nanti harus duduk saja, tidak boleh banyak bergerak dan apalagi memegang apa-apa yang ada di sana.
"Mbak pernah kan berpuasa, puasa itu ngapain aja?" tanyaku pada sulungku yang dijawab sempurna.
"Sudah pernah lah, puasa itu tidak boleh makan dan minum dari matahari terbit hingga terbenam." Ia berkata seperti biasanya.
"Nah, besok ketika kita pergi ke tempat Uti, semenjak Mbak keluar dari rumah, itu Mbak juga berpuasa, tapi puasa kita ini #LawanCorona. Kita tidak perlu menyentuh apapun di sepanjang perjalanan, termasuk ketika kita berada di dalam kereta, dan selalu memakai masker."
Hari Keberangkatan Menuju Kampung Halaman
Perjuanganku melindungi anak-anakku, melindungi keluarga di kampung halaman. Sebab, Allah mengizinkan kami berangkat, tidak ada aral yang merintangi kami sepanjang perjalanan. Dalam benak, aku membayangkan jika nanti diperjalanan tiba-tiba dihentikan oleh aparat karena dilarang bepergian, itu harapanku. Namun tidak, itu hanyalah ilusi belaka.
Kami berangkat menuju stasiun, sudah lengkap dengan hands sanitizer dan sabun di tas kecilku. Mempersenjatai diri dengan mengenakan masker dan do'aku masih tetap sama, "Ya Allah, jika mudik kami baik bagi orang tua di kampung maka lancarkanlah, jika kami berpotensi mendatangkan bahaya bagi keluarga di kampung, maka cegahlah kami."
Aku bukan seseorang yang tidak membaca berita, tidak mengetahui himbauan pemerintah, aku hanya berusaha untuk mengikuti keinginan imamku.
Terbayang juga jika nanti anak-anak terpapar virus di perjalanan. Menyiapkan mental untuk menerima tudingan dari banyak pihak, serta menyiapkan diri berperang melawan virus yang tak kasatmata. Itu tidak sulit pun tidak mudah, dibutuhkan strategi dan keyakinan yang kuat.
Tiba di Stasiun
Stasiun tampak lengang, benar ini memang bukan jam sibuk, terlebih banyak di antara mereka sudah mendapat anugrah work from home (WFH). Pada kereta listrik pengaturan tempat duduk berlaku. Untuk bangku panjang, hanya untuk empat penumpang, sedang tempat duduk prioritas hanya boleh dua orang saja.
Anak-anakku memeluk bonekanya masing-masing. Demikian cara kami agar mereka tak sembarangan memegang. Kedua tangan mereka sibuk memegang boneka. Sementara itu masker yang mereka kenakan pas—tidak melorot—sehingga mereka tidak merasa ingin membetulkan masker.
Kami tahu penularan virus Corona, melalui tangan yang memegang benda yang terdapat droplet dari penderita. Bisa masuk melalui mulut, hidung juga mata. Serta menjaga diri kita untuk tetap berjauhan—sosial distancing—dari orang lain agar tidak terkena droplet jika ada penderita di antara kami.
Abinya anak-anak yang mempersiapkan segalanya, mulai dari masker kami, multivitamin, hands sanitizer, serta sari kurma.
Orang tua mana yang berani gambling, mengenai keselamatan anak. Kami berupaya maksimal agar kemungkinan tertular tidak ada.
Virus corona sudah membuat aku terkadang bukan sekadar waspada tetapi lebih condong berprasangka buruk (su'udzon). Sebelum memasuki kereta antar provinsi yang akan kami tumpangi. Penyemprotan disinfektan dilakukan dan pengecekan suhu.
Harus vit Gaes, kalau kamu sakit #DiRumahAja, pasti akan disuruh pulang saat itu juga. Ingat positif corona itu tidak harus menunjukkan gejala, dan bisa sembuh asalkan imunitas tubuh kuat. Kalau kamu nggak kuat biar Dilan saja, kamu #DiRumahAja.
Harus vit Gaes, kalau kamu sakit #DiRumahAja, pasti akan disuruh pulang saat itu juga. Ingat positif corona itu tidak harus menunjukkan gejala, dan bisa sembuh asalkan imunitas tubuh kuat. Kalau kamu nggak kuat biar Dilan saja, kamu #DiRumahAja.
"Mbak, puasa #LawanCorona kita masih dilakukan ya, sampai nanti kita betul-betul sampai tujuan." Semangat kutularkan pada anak-anak.
Ya Mujib, berkahilah perjalanan kami dengan kesehatan, jauhkan kami dari keburukan virus corona.
Tak sekadar upaya, kusematkan do'a pada-Nya. Aku memang selalu mengandalkan-Nya di saat aku tak bisa berkutik melawan apa pun. Di saat pikiran rasional tak mampu menjangkau, di saat ketakutan menyelimuti.
Kau tahu? sebelum ada Corona aku juga wanita yang selalu #DiRumahAja. Bukan karena jenuh berada di rumah. Namun memahami keinginan suami hendak bertemu ibunya yang dirindukan. Jangan pikir kami mau orang tua kami celaka dengan pulangnya kami. Mereka adalah harta yang paling berharga di dunia ini.
Tentu kami menjaga diri kami agar tidak tertular covid-19. Aku menangis saat diputuskan pulang.
Tentu kami menjaga diri kami agar tidak tertular covid-19. Aku menangis saat diputuskan pulang.
Saat Berada dalam Kereta
Boneka yang dipeluk tak boleh sampai jatuh. Kedua putriku memeluknya dengan erat. Betapa virus tak kasatmata itu merepotkan. Di perjalanan aku sudah menyiapkan setumpuk buku dalam tas. Membacakan satu per satu, dan permainan kecil yang membuat puasa memegang benda-benda menjadi sukses. Seperti bercerita lalu kuis, menyuruhnya untuk tidur.
Bisa dibayangkan jika anakku yang super aktif, dan sehat, sangat sulit untuk duduk diam. Siang itu di perjalanan, kubacakan E-book karya Kak Azka Azra. Cerita covid-19 untuk anak dalam balutan iman Islam.
Berkisah bahwa virus corona ini adalah makhluk-Nya, yang patuh pada perintah-Nya. Jangan takut dengannya takutlah dengan Allah. Lalu kubisikan pada mereka bahwa aku mencintainya, ingin mereka sehat. Memberitahukan apa yang harus dikerjakan hingga tiba di tempat Uti.
Malam sudah menghampiti katulistiwa, Weleri sudah lengang, pedagang pasar sudah beranjak pulang. Sejengkal menuju status ODP (orang dalam pemantauan), kami berempat menambah daftar ODP di Temanggung menjadi lebih dari seribu orang.
Menjadi ODP itu asyik, ditakuti banyak kalangan. Tak ubahnya nabi Ayub 'alaihis-salam, dikucilkan karena takut tertular.
Stasiun tujuan kami tak ada pemeriksaan suhu atau pun penyemprotan. Aku bergidik ngeri mengingat perjalananku. Seperti pecundang yang ketakutan saat melintasi sarang dedemit. Antara ilusi, halusinasi dan kenyataan saling mengecoh.
Mobil merah melaju menembus malam, melintasi alun-alun Sukorejo. Udara dingin mulai menembus sungsum. Tak terasa sudah terparkir di depan rumah Uti.
Petugas posko pencegahan penyebaran Covid-19 menghampiriku, sepuluh meter dari rumah ibuku terdapat posko. Kami disemprot disinfektan, dan diukur suhu. Suhu tubuh kami berempat kisaran 30,2~30,6°C.
Cerita selanjutnya tentang bagaimana kami menjadi ODP. Tulisan ini dibuat saat kami berstatus ODP hari ke-8. Kisah ODP kami nanti ya setelah kami masih tetap hidup hingga ODP berakhir, enam hati lagi Gaes. Sabaaar!!!
Berkisah bahwa virus corona ini adalah makhluk-Nya, yang patuh pada perintah-Nya. Jangan takut dengannya takutlah dengan Allah. Lalu kubisikan pada mereka bahwa aku mencintainya, ingin mereka sehat. Memberitahukan apa yang harus dikerjakan hingga tiba di tempat Uti.
Sampai Tempat Tujuan
Malam sudah menghampiti katulistiwa, Weleri sudah lengang, pedagang pasar sudah beranjak pulang. Sejengkal menuju status ODP (orang dalam pemantauan), kami berempat menambah daftar ODP di Temanggung menjadi lebih dari seribu orang.
Menjadi ODP itu asyik, ditakuti banyak kalangan. Tak ubahnya nabi Ayub 'alaihis-salam, dikucilkan karena takut tertular.
Stasiun tujuan kami tak ada pemeriksaan suhu atau pun penyemprotan. Aku bergidik ngeri mengingat perjalananku. Seperti pecundang yang ketakutan saat melintasi sarang dedemit. Antara ilusi, halusinasi dan kenyataan saling mengecoh.
Mobil merah melaju menembus malam, melintasi alun-alun Sukorejo. Udara dingin mulai menembus sungsum. Tak terasa sudah terparkir di depan rumah Uti.
Petugas posko pencegahan penyebaran Covid-19 menghampiriku, sepuluh meter dari rumah ibuku terdapat posko. Kami disemprot disinfektan, dan diukur suhu. Suhu tubuh kami berempat kisaran 30,2~30,6°C.
Cerita selanjutnya tentang bagaimana kami menjadi ODP. Tulisan ini dibuat saat kami berstatus ODP hari ke-8. Kisah ODP kami nanti ya setelah kami masih tetap hidup hingga ODP berakhir, enam hati lagi Gaes. Sabaaar!!!
Posting Komentar
Posting Komentar